Bahkan, pimpinan sejumlah LPTK mengaku pesimistik bahwa sertifikasi menjamin peningkatan kualitas guru. Tanpa arah yang jelas dan tujuan terukur, niscaya kegiatan ini akan sia-sia.
Gagasan utama di balik pendidikan profesi guru adalah peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru.
Maka, program sertifikasi seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi untuk memperoleh tunjangan profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengubah motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk pendidikan profesi.
Guru sebagai profesi
Pendidikan profesi guru mengasumsikan bahwa model penyiapan tenaga kependidikan yang diandalkan selama ini sudah tidak memadai lagi sehingga memerlukan pembaruan. Program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus secara nyata menunjukkan langkah-langkah kemajuan dalam peran guru sebagai sebuah profesi.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah guru profesional macam apakah yang hendak “dicetak” lewat pendidikan profesi dengan 36-an SKS tersebut? Apakah guru-guru dipersiapkan untuk mengantar murid-murid lulus ujian nasional ataukah mereka dipersiapkan untuk mengembangkan potensi murid menjadi good citizen, dan insan paripurna? Di manakah perbedaan mereka dengan guru-guru yang ada sekarang atau dengan diri mereka sendiri sebelum memasuki “salon” profesionalisme itu?
Ketika persoalan ini tidak cukup terang, maka pendidikan profesi guru patut menimbulkan keraguan dan pesimisme karena tidak menawarkan sesuatu yang baru dan tangible kecuali selembar kertas bernama sertifikat.
Pendidikan profesi guru harus mampu menjawab problem spesifik keguruan. Persoalan kronis keguruan kita, seperti dituturkan Beeby (1975), adalah “praktik kelas” yang membosankan. Guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah.
Setelah menguraikan sesuatu masalah, mereka menghabiskan bagian terbesar jam pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan tulis dan menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.
Pentingnya mempersoalkan penampilan dan kemampuan guru karena merekalah tokoh utama yang mengantar proses pencapaian hierarkis tujuan instruksional ke tujuan pendidikan nasional. Penampilan seorang guru di dalam praktik kelas ditentukan oleh konsep yang dimilikinya tentang pembelajaran.
Pilihan metode bukan sekadar persoalan penyesuaian teknis terhadap topik yang akan disampaikan, melainkan berakar pada cara pandang terhadap manusia (anak) dan bagaimana cara mereka berkebudayaan. Apabila seorang guru memandang anak sebagai makhluk “kosong” dan berkembang secara mekanis, maka ia cenderung memilih mengajar dengan pendekatan pedagogis dengan metode menuang air ke dalam botol (banking system).
Sebaliknya, jika anak dianggap sebagai ciptaan yang berpotensi dan berkembang dinamis, maka yang dipergunakan pendekatan andragogis dengan model pembelajaran dialogis. Tetapi, di Indonesia, kebanyakan guru tidak memiliki pandangan apa-apa tentang anak sehingga yang terjadi adalah “ritual” pembelajaran tanpa kerangka dan jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar